Tuesday, July 21, 2009

Kampuang nan jauh di mato: Lagu daerah Sumatera Barat

Kampuang nan jauh di mato
Gunuang Sansai Baku Liliang
Takana Jo Kawan, Kawan Nan Lamo
Sangkek Basu Liang Suliang
Panduduknya nan elok nan
Suko Bagotong Royong
Kok susah samo samo diraso
Den Takana Jo Kampuang
Takana Jo Kampuang
Induk Ayah Adik Sadonyo
Raso Mangimbau Ngimbau Den Pulang
Den Takana Jo Kampuang

Jam Gadang, Bukittinggi-Sumatera Barat



Jam Gadang adalah sebuah menara jam yang merupakan markah tanah kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun. Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota). Pada masa penjajahan Belanda, jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan, sedangkan pada masa pendudukan Jepang, berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.

Ukuran diameter jam ini adalah 80 cm, dengan denah dasar 13x4 meter sedangkan tingginya 26 meter. Pembangunan Jam Gadang yang konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden ini, akhirnya menjadi markah tanah atau lambang dari kota Bukittinggi. Ada keunikan dari angka-angka Romawi pada Jam Gadang ini. Bila penulisan huruf Romawi biasanya pada angka enam adalah VI, angka tujuh adalah VII dan angka delapan adalah VIII, Jam Gadang ini menulis angka empat dengan simbol IIII (umumnya IV).
Sumber: Wikipedia Berbahasa Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Jam_Gadang

Friday, July 17, 2009



Sunday, July 12, 2009

Rumoh Aceh



Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.

Terinspirasi dari tulisan Ahmad Salehudin

Bungong Jeumpa: Lagu daerah Aceh

Bungong jeumpa bungong jeumpa

Megah di Aceh

Bungong telebeh-telebeh

Indah lagoina

Puteh kuneng mejampu mirah

Keumang siulah cidah thah ruah

Puteh kuneng mejampu mirah

Keumang siulah cidah thah ruah

Lam sinar buleun lam sinar buleun

Angen peu ayon

Ruroh mesuson-mesuson

Nyang mala-mala

Mangat that mebe’I menyo tat him com

Lepah that harum si bungong jeumpa

Mangat that mebe’I menyo tat him com

Lepah that harum si bungong jeumpa

Sumber: tunas63


Wednesday, July 8, 2009

Rencong Aceh

Walaupun mempunyai persamaan dengan Tumbuk Lada, tetapi perbezaan pada rekabentuk tajam pada hulu dan sarungnya.

Ianya berasal dari Aceh, Sumetera Utara. Seperti juga keris dalam negeri-negeri Melayu, Rencong Aceh merupakan sebahagian daripada pakaian adat istiadat Aceh.

Panjang bilah matanya di antara 8 1/2 inci dan sembilan inci. Lebarnya pula di antara 3/4 inci ke 1 inci. Pada bahagian tengah bilah mata Rencong diukir kalimah "Allahu Akbar" daripada perak, yang berbentuk melengkung, memanjang dari pangkal ke hujung mata rencong.
Sarungnya pula diperbuat daripada kayu teras hitam. Hulunya samada daripada kayu atau tanduk yang bengkok, pada tapak hulunya iaitu bahagian penyambungan antara mata dan hulu dimasukkan gelang tembaga. Pada hujung sarung kebiasaannya dihiaskan dengan cebisan gading dan tengah sarung pula dihiaskan dengan gelungan dawai tembaga.

Sumber: dari tulisan member Tripod

LAIN-LAIN SENJATA:

1. Tumbuk Lada
2. Sewar
4. Rencong Aceh (dipakai wanita)
5. Badik
6. Badik Tampang Teruna
7. Buku Lima


Sekelumit Masjid Raya Baiturrahman Aceh

Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh.

Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah masjid sebagai penggantinya.

Mesjid ini berkubah tunggal dan dapat diselesaikan pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959-1968).

Masjid ini merupakan salah satu masjid yang terindah di Indonesia yang memiliki bentuk yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas dan terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan masjid tersebut.

Sumber: Wikipedia bahasa indonesia

Bahasa di Aceh

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia.

Meskipun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyaknya percampuran bahasa, terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian bahasa aslinya.

Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang, dan Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda 'eu' kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).

Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vokal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti "turun" menjadi "trôn", karena hilangnya suku pertama, seperti "daun" menjadi "ôn". Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa Indonesia Bagian Timur.

Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Namun demikian, masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu, ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.

Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.

Bahasa lain yang digunakan di Acah adalah Bahasa Gayo yang dituturkan di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Serbajadi, Aceh Timur. Bahasa Simeulue dan beberapa bahasa lainnya di kabupaten Simeulue, Melayu Tamiang, Alas, Aneuk Jamee yang merupakan dialek Bahasa Minangkabau dan Bahasa Kluet.

Sumber: Wikipedia bahasa indonesia

Keadaan Geografis Aceh

Aceh adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.

Ibukota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.

Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, sampai Seulawah, Aceh Besar. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.

Sumber: Wikipedia bahasa indonesia

Suku bangsa di Aceh

Provinsi Aceh terdiri dari 10 suku asli, yaitu Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang, Suku Kluet, Suku Devayan, Suku Sigulai, Suku Haloban suku pakpak dan boang dan Suku Julu.

Suku Aceh tersebar terutama di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan.

Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin China, Kamboja.

Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.

Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa India, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh.

Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.

Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Banda/Bandar arti: Pelabuhan).

Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental.

Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Marco Polo, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh.

Sumber: Wikipedia bahasa indonesia