Tuesday, October 13, 2009

BAGAN ALIR PROSES PENYUSUNAN RENSTRA SKPD

Bagan 1 Memperlihatkan alur proses penyusunan Renstra SKPD yang dikembangkan oleh LGSP-USAID, yang mengikuti ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku
tentang perencanaan daerah. Ada 3 (tiga) tiga alur spesifik yang digambarkan di sini yaitu alur proses teknokratis-strategis, alur proses partisipatif, dan alur proses legislasi dan politik. Ketiga alur proses tersebut menghendaki pendekatan yang berbeda, namun saling berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan Renstra SKPD
yang terpadu.

Alur Proses Teknokratis dan Strategis

Alur ini merupakan alur teknis perencanaan, yang merupakan dominasi para perencana daerah dan pakar perencanaan daerah. Alur ini ditujukan menghasilkan informasi, analisis, proyeksi, alternatif-alternatif tujuan, strategi, kebijakan, dan program sesuai kaidah teknis perencanaan yang diharapkan dapat memberikan masukan bagi alur proses partisipatif.

Alur Proses Partisipatif
Alur ini merupakan alur bagi keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan daerah. Alur ini merupakan serangkaian public participatory atau participatory planning events untuk menghasilkan konsensus dan kesepakatan atas tahap-tahap penting
pengambilan keputusan perencanaan. Alur ini merupakan wahana bagi organisasi masyarakat sipil (NGO, CSO, CBO) untuk memberikan kontribusi yang efektif pada setiap public participatory events, kemudian mereview dan mengevaluasi hasil-hasil
proses strategis.

Alur Legislasi dan Politik
Ini merupakan alur proses konsultasi dengan legislatif (DPRD) untuk menghasilkan Peraturan Kepala SKPD tentang Renstra SKPD. Pada alur ini diharapkan DPRD dapat memberikan kontribusi pemikirannya, review, dan evaluasi atas hasil-hasil baik
proses strategis maupun proses partisipatif.

Sumber:
Seri Perencanaan Partisipatif, Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Bahan Pelatihan dan Pendampingan, Bagi Eksekutif, Legislatif dan Organisasi Masyarakat Sipil, Bagian 3 Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, LGSP, Jakarta, 2007

Buku tersebut dapat di download disini
download

Bagan alir download disini
download

Prinsip-prinsip Penyusunan RENSTRA SKPD

Sejalan dengan Undang-Undang No 25/2004, maka penyusunan Renstra SKPD perlu memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: (1)Teknokratis (Strategis) (2)Demokratis dan partisipatif (3)Politis (4) Perencanaan bottom-up (5) Perencanaan top-down.

Teknokratis (Strategis

Dokumen Renstra SKPD pada dasarnya merupakan suatu proses pemikiran strategis. Kualitas Dokumen Renstra SKPD
sangat ditentukan oleh seberapa jauh Renstra SKPD dapat mengemukakan secara sistematis proses pemikiran strategis tersebut. Perencanaan strategis erat kaitannya dengan proses menetapkan kemana daerah akan diarahkan pengembangannya
dan apa yang hendak dicapai dalam lima tahun mendatang;bagaimana mencapainya dan langkah-langkah strategis apa yang perlu dilakukan agar tujuan tercapai. Alur pemikiran strategis (strategic thinking process) pada dasarnya mencakup elemen-elemen sebagai berikut: (i)Ada rumusan isu dan permasalahan pembangunan yang jelas (ii) Ada rumusan prioritas isu sesuai dengan urgensi dan kepentingan dan dampak isu terhadap kesejahteraan masyarakat banyak (iii) Ada rumusan tujuan pembangunan yang memenuhi kriteria SMART (specific, measurable, achievable, result oriented, time bound) (iv) Ada rumusan alternatif strategi untuk pencapaian tujuan (v)Ada rumusan kebijakan untuk masing-masing strategi (vi) Ada pertimbangan atas kendala ketersediaan sumber daya dan dana (kendala fiskal SKPD) (vii)Ada prioritas program (viii) Ada tolok ukur dan target kinerja capaian program (ix)Ada pagu indikatif program (x) Ada kejelasan siapa bertanggung jawab untuk mencapai tujuan, sasaran dan hasil, dan waktu penyelesaian termasuk review kemajuan pencapaian sasaran (xi)Ada kemampuan untuk menyesuaikan dari waktu ke waktu terhadap perkembangan internal dan eksternal yang terjadi (xii) Ada evaluasi terhadap proses perencanaan yang dilakukan (xiii)Ada komunikasi dan konsultasi berkelanjutan dari dokumen yang dihasilkan (xiv)Ada instrumen, metodologi, pendekatan yang tepat digunakan
untuk mendukung proses perencanaan

Demokratis dan Partisipatif

Ini bermakna bahwa proses penyusunan Renstra SKPD perlu dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan masyarakat (stakeholder) dalam pengambilan keputusan perencanaan di semua tahapan perencanaan: (i) Ada identifikasi stakeholder yang relevan untuk dilibatkan dalam proses perumusan visi, misi, dan agenda SKPD serta dalam proses pengambilan keputusan penyusunan Renstra SKPD (ii) Ada kesetaraan antara government dan non government stakeholder dalam pengambilan keputusan
· Ada transparasi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan (iii) Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat, terutama kaum perempuan dan kelompok
marjinal (iv)Ada sense of ownership masyarakat terhadap Renstra SKPD (v)Ada pelibatan dari media (vi)Ada konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi dan kebijakan, dan prioritas program

Politis

Ini bermakna bahwa penyusunan Renstra SKPD melibatkan proses konsultasi dengan kekuatan politis terutama Kepala Daerah Terpilih dan DPRD: (i)Ada konsultasi dengan KDH Terpilih untuk penerjemahan yang tepat dan sistematis atas visi, misi, dan program Kepala Daerah Terpilih ke dalam tujuan, strategi, kebijakan, dan program
pembangunan daerah (ii)Ada keterlibatan DPRD dalam proses penyusunan Renstra
SKPD (iii) Ada pokok-pokok pikiran DPRD dalam proses penyusunan Renstra SKPD (iv)Ada naskah akademis untuk mendukung proses pengesahan Renstra SKPD (v)Ada review dan evaluasi dari DPRD terhadap rancangan Renstra SKPD (vi) Ada pembahasan terhadap Ranperda Renstra SKPD (vii)Ada pengesahan Renstra SKPD sebagai Peraturan Kepala
SKPD yang mengikat semua pihak untuk melaksanakannya dalam lima tahun ke depan.

Bottom-up

Ini bermakna bahwa proses penyusunan RENSTRA SKPD perlu memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat: (i)Ada penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk
melihat konsistensi dengan visi, misi, dan program Kepala Daerah Terpilih (ii) Memperhatikan hasil proses musrenbang dan kesepakatan dengan masyarakat tentang prioritas pembangunan daerah (iii) Mempertimbangkan hasil Forum Multi Stakeholder SKPD (iv)Memperhatikan hasil proses penyusunan Renstra SKPD.

Top down

Ini bermakna bahwa proses penyusunan Renstra SKPD perlu bersinergi dengan rencana strategis di atasnya dan komitmen pemerintahan atasan berkaitan: (i)Ada sinergi dengan RPJM Nasional dan RENSTRA K/L (ii)Ada sinergi dan konsistensi dengan RPJPD dan RPJMD (iii) Ada sinergi dan konsistensi dengan RTRWD (iv)Ada sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuantujuan pembangunan global seperti Millenium Development Goals, Sustainable Development, pemenuhan Hak Asasi Manusia, pemenuhan air bersih dan sanitasi, dsb

Sumber:
Seri Perencanaan Partisipatif, Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Bahan Pelatihan dan Pendampingan, Bagi Eksekutif, Legislatif dan Organisasi Masyarakat Sipil, Bagian 3 Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, LGSP, Jakarta, 2007

Buku tersebut dapat di download disini
download

Landasan Hukum Penyusunan RENSTRA SKPD

Penyusunan Renstra SKPD perlu mengantisipasi tentang adanya diskrepansi (perbedaan) dalam peraturan dan perundangan perencanaan dan penganggaran daerah terutama
tentang status hukum Renstra SKPD; belum adanya payung pengaturan yang terpadu antara perencanaan dan penganggaran daerah yang menyebabkan kurang terintegrasinya perencanaan dan penganggaran; masih terbatasnya pemahaman di daerah tentang performance planning walaupun pengangaran daerah telah menjalankan performance budgeting untuk beberapa waktu;singkatnya waktu (3 bulan) yang diberikan dalam peraturan/perundangan untuk menyusun Renstra SKPD.

Penyusunan Renstra SKPD perlu mengembangkan hubungan (link) di antara peraturan dan perundangan tersebut sehingga Renstra SKPD sebagai dokumen rencana jangka menengah
mudah diterjemahkan ke dalam rencana tahunan RKPD, KUA APBD, Renja SKPD, RKA-SKPD, dan APBD. Ada 9 (sembilan) landasan hukum utama yang mengatur sistem, mekanisme, proses dan prosedur tentang Renstra SKPD khususnya dan perencanaan dan penganggaran daerah pada umumnya di era desentralisasi ini, yaitu: (1) Undang- Undang No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)(2) Undang- Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara (3) Undang- Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (4)Undang- Undang No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (5)Peraturan Pemerintah No 58/2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (6)Peraturan Pemerintah No 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (7)Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (8)SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri 0008/M.PPN/01/2007/050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007 (9) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Undang-Undang No 25/2004 mengatur tentang peranan dan
tanggung jawab Kepala SKPD untuk menyiapkan Renstra SKPD, keterkaitan visi dan misi Kepala Daerah Terpilih dengan RPJMDdan Renstra SKPD, pokok-pokok isi dokumen Renstra SKPD, status hukum Renstra SKPD. Renstra SKPD dijadikan pedoman bagi penyusunan Renja SKPD. Undang-Undang ini juga menekankan keterkaitan erat antara penyusunan RPJMD dengan RENSTRA SKPD.

Sumber:
Seri Perencanaan Partisipatif, Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Bahan Pelatihan dan Pendampingan, Bagi Eksekutif, Legislatif dan Organisasi Masyarakat Sipil, Bagian 3 Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, LGSP, Jakarta, 2007

Buku tersebut dapat di download disini
download

Monday, October 12, 2009

Apa itu Dokumen RENSTRA SKPD?

Peraturan dan perundangan di era desentralisasi memperlihatkan komitmen politik Pemerintah untuk menata kembali dan meningkatkan sistem, mekanisme, prosedur dan
kualitas proses perencanaan dan penganggaran daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, demokratis, dan
pembangunan daerah berkelanjutan.

Dalam peraturan dan perundangan baru, penyusunan rencana dikehendaki memadukan pendekatan teknokratis, demokratis, partisipatif, politis, bottom-up dan top down process. Ini bermakna bahwa perencanaan daerah selain diharapkan memenuhi kaidah
penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel; konsisten dengan rencana lainnya yang relevan; juga kepemilikan rencana (sense of ownership) menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Keterlibatan stakeholder dan legislatif dalam
proses pengambilan keputusan perencanaan menjadi sangat penting untuk memastikan rencana yang disusun mendapatkan dukungan optimal bagi implementasinya.

Renstra SKPD atau Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah merupakan satu dokumen rencana resmi daerah yang dipersyaratkan bagi mengarahkan pelayanan SKPD khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan masa pimpinan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih. Sebagai suatu dokumen rencana yang penting sudah sepatutnya Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat memberikan perhatian penting pada kualitas proses penyusunan dokumen Renstra SKPD, dan tentunya diikuti dengan pemantauan, evaluasi, dan review berkala atas implementasinya.

Karena penyusunan Dokumen Renstra SKPD sangat terkait dengan visi dan misi Kepala Daerah Terpilih dan RPJMD, maka kualitas penyusunan Renstra SKPD akan sangat ditentukan oleh kemampuan SKPD untuk menerjemahkan, mengoperasionalkan,dan mengimplementasikan Visi, Misi dan Agenda KDH, tujuan,strategi, kebijakan, dan capaian program RPJMD ke dalam penyusunan Renstra SKPD sesuai TUPOKSI SKPD. Kinerja
penyelenggaraan urusan SKPD akan sangat mempengaruhi kinerja pemerintahan daerah dan KDH selama masa kepemimpinanya.

Renstra SKPD menjawab 3 pertanyaan dasar; (1) kemana pelayanan SKPD akan diarahkan pengembangannya dan apa yang hendak dicapai dalam 5 (lima tahun) mendatang; (2)
bagaimana mencapainya dan; (3) langkah-langkah strategis apa yang perlu dilakukan agar tujuan tercapai.

Dalam konteks ini, adalah sangat penting bagi Renstra SKPD untuk mengklarifikasikan secara eksplisit visi dan misi KDH Terpilih dan RPJMD, kemudian menerjemahkan secara strategis,sistematis, dan terpadu ke dalam tujuan, strategi, kebijakan, dan program prioritas SKPD serta tolok ukur pencapaiannya. Untuk mendapatkan dukungan yang optimal bagi implementasinya, proses penyusunan dokumen Renstra SKPD perlu membangun komitmen dan kesepakatan dari semua stakeholder (termasuk Forum Multistakeholder SKPD)untuk mencapai tujuan Renstra SKPD melalui proses yang transparan, demokratis, dan akuntabel dengan memadukan pendekatan teknokratis, demokratis, partisipatif, dan politis

Sumber:
Seri Perencanaan Partisipatif, Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Bahan Pelatihan dan Pendampingan, Bagi Eksekutif, Legislatif dan Organisasi Masyarakat Sipil, Bagian 3 Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, LGSP, Jakarta, 2007

Buku tersebut dapat di download disini
download

Aplikasi siklus perencanaan dalam implementasi proses perencanaan kesehatan kabupaten

Berbagai model siklus perencanaan dapat digunakan dalam proses perencanaan kesehatan
kabupaten. Karena pada dasarnya siklus tersebut melalui tahapan yang pokok, yaitu: analisis situasi, penentuan tujuan, seleksi intervensi, penyusunan program dan pembiayaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi.

Masing-masing tahapan siklus perencanaan tersebut di atas hendaknya dijadwalkan dengan baik dalam siklus perencanaan tahunan sebagai penjabaran dari rencana strategis (Renstra) kesehatan kabupaten. Dengan demikian diharapkan rencana usulan kegiatan program kesehatan (RUK) kabupaten/kota telah melalui tahapan analisis situasi dan identifikasi masalah, penentuan tujuan dan program prioritas serta seleksi intervensi kegiatan sebelum diajukan ke Bappeda.

Peran masyarakat dalam proses perencanaan kesehatan kabupaten

Dalam tulisannya, Bakri merujuk pada hasil konferensi di Harare tentang penguatan system kesehatan pada level district berbasis Primary Health Care (PHC) disebutkan bahwa kerjasama unsur masyarakat dan segenap faktor terkait termasuk sektor kesehatan sangat dibutuhkan dalam rangka efektivitas penguatan sistem kesehatan pada level district (WHO, 1987).

Menurut Collins (1994), ada beberapa alasan untuk memfokuskan perhatian pada partisipasi masyarakat (community participation), yaitu: (1) Efektivitas program lebih mudah dicapai. Hal ini dimungkinkan oleh karena manajemen dan perencanaan lebih mengarah kepada kebutuhan masyarakat lokal. Selain itu, masyarakat dapat memberikan kontribusi yang penting dalam proses monitoring dan evaluasi program (2)Melalui partisipasi masyarakat, sustainabilitas program kesehatan dapat diperoleh dengan lebih mudah. Hal ini disebabkan program lebih sesuai dengan kebutuhan lokal serta resources yang esensial dapat diperoleh dari mereka (3)Dengan proses community participation yang efektif, dapat merupakan prinsip akuntabilitas dari masyarakat terutama dalam hal pembiayaan pelayanan kesehatan (4) Dengan community participation, tingkat penerimaan program kesehatan oleh masyarakat dapat lebih mudah diperoleh yang pada gilirannya akan meningkatkan utilitas dan cakupan pelayanan kesehatan (5) Pada situasi dengan keterbatasan sumber daya yang ada, masyarakat dapat berperan dalam hal kontribusi tenaga, lahan, material dan bahkan
pembiayaan.

Sumber:

BAKRI H (2001) Strengthening decentralised health planning at district level in South Sulawesi Province (MA Health Management, Planning and Policy dissertation) Leeds: University of Leeds, Nuffield Institute for Health

COLLINS C (1994) Management and Organisation of Developing Health Systems
Oxford : Oxford university Press

Sunday, October 11, 2009

Belajar dari GREEN'S PLANNING SPIRAL untuk implementasi proses perencanaan kesehatan kabupaten

Berbagai model siklus perencanaan sering digunakan dengen terminologi berbeda, namun pada dasarnya setiap sistem tersebut membutuhkan tahapan (a). Analysis situasi (b). Penentuan tujuan (priority, goal dan objective) (c). Seleksi intervensi (d). Penyusunan program dan pembiayaan (e). Implementasi dan Monitoring (f). Evaluasi yang menjawab pertanyaan.

Green (1999) dalam An Introduction to Health Planning in Developing Countries,
1999, hal. 31 mengajukan suatu model yang digambarkan sebagai “planning spiral” yang meliputi tahap-tahap di atas.

Situational analysis

Adalah tahap pertama dari planning spiral yang merupakan assessment penilaian situasi sekarang dari berbagai sudut pandangan. Oleh karena itu, sangatlah penting menetapkan indikator untuk membandingkan situasi saat ini dengan perkembangan yang terjadi sebagai akibat implementasi kegiatan yang telah direncanakan. Dalam proses pengumpulan data, perlu ditetapkan metodenya (sistem pengumpulan data rutin, large-scale surveys, local rapid assessment), dan teknik yang paling tepat digunakan seperti interview, observasi dan focus group (Omar, 2001).

Priority-setting

Adalah tahap kedua dari planning spiral yang mengisyarakan tujuan apa yang ingin dicapai berdasarkan analisis situasi sebelumnya. Tahap ini meliputi:
(i). Penentuan problem prioritas
Sebagai langkah awal adalah membuat list/daftar problem kesehatan berdasarkan informasi analisis situasi yang ada pada profil kesehatan kabupaten/kota. Selanjutnya menyeleksi hanya beberapa problem utama melalui diskusi dengan segenap Tim perencana kabupaten/kota.Beberapa kriteria yang dapat digunakan anatara lain magnitude, equity, vulnerability.

(ii). Problem analysis
Setelah problem utama terseleksi, langkah berikutnya adalah menganalisis problem prioritas, misalnya dengan menggunakan pohon masalah.

(iii).Penentuan goal dan objective
Setelah program prioritas dianalisis, tahap berikutnya adalah penentuan tujuan (goal dan objective).

Option appraisal

Adalah tahap ketiga dari planning spiral berupa pengajuan dan penilaian
berbagai intervensi kegiatan untuk mencapai tujuan dan target yang telah
ditentukan sebelumnya. Untuk mencapai target tersebut, terdapat berbagai
cara atau intervensi yang dapat dilakukan (Green, 1999). Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk seleksi intervensi kegiatan,
antara lain (i). Appropriateness : kesesuaian dengan kebutuhan, kondisi lokal dan
tingkat penerimaan oleh masyarakat pada kabupaten/kota yang bersangkutan (ii). Effectiveness : efektivitas intervensi kegiatan terpilih (iii). Cost : biaya yang lebih cost efektif dari intervensi kegiatan terpilih bila dibandingkan intervensi lainnya (iv). Feasibility : mampu dilaksanakan baik secara teknis maupun administratif (v). Sustainability : kesinambungan dari intervensi kegiatan terpilih

Programming dan budgeting

Adalah tahap keempat dari planning spiral yang memindahkan rangkaian kegiatan sebelumnya ke dalam bentuk program kegiatan yang masing-masing dilengkapi dengan pembiayaan dan sumber daya lainnya. Hasil dari proses ini adalah dokumen perencanaan (Green, 1999).

Implementation dan monitoring

Adalah tahap kelima dari planning spiral yang mentransformasi kegiatan ke dalam bentuk yang lebih spesifik dalam hal waktu, biaya dan dalam bentuk yang lebih operasional (operational plan/workplan). Kegagalan dalam tahap ini merupakan problem utama perencanaan kesehatan kabupaten/kota (Collins, 1994). Hal yang juga esensial dalam tahap ini adalah monitoring dari implementasi kegiatan (Green, 1999).

Evaluation

Adalah tahap terakhir dari planning spiral dan dapat menjadi dasar untuk
analisis situasi berikutnya (Green, 1999). Hal ini akan menjawab pertanyaan: (i).Apakah objectives/tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya tercapai? (ii). Jika tidak tercapai, bagaimana cara mengatasi hambatan yang dijumpai? (iii). Apakah kegiatan yang dievaluasi cukup bernilai? Apakah dapat dilanjutkan atau dikembangkan?

Sumber utama:
GREEN A (1999) An Introduction to Health Planning in Developing Countries second edition. Oxford: Oxford University Press

MENGGAGAS SISTEM PERENCANAAN KESEHATAN KABUPATEN YANG EFEKTIF

Desentralisasi merupakan suatu proses politik dan administratif yang dapat memberikan berbagai keuntungan dengan cara menstimulasi peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Bryant, 1999).

Untuk mencapai sistem desentralisasi perencanaan kesehatan yang efektif, menurut Omar (2001) dalam materi Kuliahnya "Management and planning for the district" ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: (a)Perlunya efektivitas distribusi fungsi perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah kabupaten/kota (b) Desentralisasi perencanaan seharusnya merupakan bagian integral dari proses desentralisasi fungsi, sumber daya dan kewenangan kepada kabupaten/kota (c)Perlu diperhatikan bahwa perencanaan kesehatan merupakan salah satu aspek vital dalam sistem desentralisasi kesehatan (d) Kemampuan yang memadai dan relevan dalam aspek perencanaan mutlak diperlukan pada level kabupaten/kota (e) Sepatutnya kabupaten/kota mengadopsi model/siklus perencanaan tertentu yang realistis (f)Perencanaan kesehatan kabupaten/kota sebaiknya menyesuaikan pola/kultur perencanaan di daerah masing-masing

Sumber:

BRYANT M (1999) Planning for and within Decentralised Health Systems UinU Kolehmainen-Aitlen RL (eds) Myths and Realities about the Decentralisation of Health Systems Boston: Management Sciences for Health, pp 11-26

OMAR M (2001) Management and planning for the district (Lecture handout.Option: Health Management Planning and Policy) Unpublished

KELEMAHAN DALAM SISTEM PERENCANAAN KESEHATAN DI KABUPATEN

Sebagai akibat dari implementasi Undang-Undang Pemerintahan Daerah pada sektor kesehatan, maka kesiapan Dinas Kesehatan kabupaten/kota dalam sistem perencanaan mutlak diperlukan. Suatu hal yang dapat dikemukakan sebagai masalah pokok dalam sistem perencanaan kesehatan pada kabupaten/kota adalah sistem perencanaan kesehatan sebagaimana pandangan Bakri (2001, kurang efektif dalam mengakomodir kebutuhan dan permasalahan kesehatan masyarakat setempat. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : (1)Belum adanya Tim Khusus yang mengelola manajemen perencanaan kesehatan kabupaten/kota (2)Masih lemahnya kemampuan petugas kesehatan dalam berbagai aspek proses perencanaan (3)Masih kurangnya keterlibatan masyarakat dan sektor terkait dalam proses perencanaan (4)Belum digunakannya model/siklus perencanaan tertentu dalam proses perencanaan

Sumber utama:
BAKRI H (2001) Strengthening decentralised health planning at district level in South Sulawesi Province (MA Health Management, Planning and Policy dissertation) Leeds: University of Leeds, Nuffield Institute for Health

PERLUNYA PENGUATAN SISTEM PERENCANAAN KESEHATAN KABUPATEN / KOTA

Sentralisasi perencanaan kesehatan yang berlangsung di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama berdampak pada kekurang berhasilan dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan yakni peningkatan status derajat kesehatan masyarakat. Kebijakan kesehatan di masa lalu khususnya dalam bidang perencanaan kesehatan didominasi oleh Pemerintah Pusat dan peranan Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan kabupaten/kota sangat terbatas. Target program bahkan penentuan prioritas program kesehatan umumnya berdasarkan proyeksi nasional. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian dengan situasi dan kebutuhan kesehatan lokal(kabupaten/kota).

Dengan diberlakukannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan cukup besar kepada kabupaten/kota termasuk dalam bidang kesehatan. Hal ini memungkinkan Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki peluang cukup besar untuk mengatur sistem kesehatannya termasuk sistem perencanaan. Namun demikian, desentralisasi perencanaan kesehatan sebagai salah satu faktor esensial dalam proses desentralisasi merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan kerjasama yang harmonis diantara penentu kebijakan, perencana,tenaga administrasi dan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan tekad yang kuat dan kesiapan yang cukup matang untuk menata dan memperkuat sistem perencanaan kesehatan pada masing-masing kabupaten/kota.

Sunday, October 4, 2009

Korban Gempa di Sumatera Barat, Tewas Ditemukan 605 Orang

Nusantara / Senin, 5 Oktober 2009 09:39 WIB

Metrotvnews.com, Padang: Jumlah korban tewas yang telah ditemukan akibat gempa 7,6 skala Richter di Sumatra Barat (Sumbar) hingga Ahad malam terus bertambah. Korban tewas telah mencapai 605 orang. Korban tewas terbanyak ditemukan di Kota Padang. Jumlahnya mencapai 231 orang. Sementara di Kabupaten Padang Pariaman berjumlah 276 orang. Demikian data Satkorlak Penanggulangan Bencana Sumbar di Padang, Ahad (4/10) malam.

Korban tewas di Kota Pariaman sebanyak 49 orang. Di Kabupaten Pesisir Selatan, korban tewas sebanyak 10 orang. Sementara korban tewas di Kota Solok, Kabupaten Agam dan Pasaman Barat, masing-masing 4 orang, 32 orang dan 3 orang.

Sementara total korban luka berat sebanyak 412 orang. Korban luka ringan sebanyak 2.096 orang. Sementara korban hilang sebanyak 343 orang. Gempa juga merusak 83.883 unit rumah dan rumah rusak sedang sebanyak 32.773 unit. Bangunan rumah rusak ringan sebanyak 66.419 unit.(Ant/BEY)